Sejarah Terbentuknya Kesultanan Kacirebonan
Kesultanan Kacirebonan adalah Kesultanan terbesar di Cirebon setelah Kesultanan Kasepuhan dan Kanoman.
Sejarah terbentuknya Kesultanan pecahan dari Kesultanan Kanoman ini didahului oleh peristiwa dukungan sebagian kerabat keraton dan pejabat Keraton Kanoman pada perjuangan yang digagas oleh Sultan Matangaji Kasepuhan, Pangeran Surya Negara dan yang dilanjutkan oleh Bagus Rangin dalam menentang kekuasaan Belanda di Cirebon.
Selepas mangkatnya Sultan Matangaji pada tahun 1786, perjuangannya dalam menentang Belanda dilanjutkan oleh adiknya Pangeran Suryanegara, selanjutnya selepas wafatnya Pangeran Suryanegara, perjuangan diteruskan oleh Bagus Rangin.
Pada saat Bagus Rangin memimpin perjuangan (1802-1812), Putra Mahkota Kesultanan Kanoman (Sultan Anom Muhamad Kharudin bertahta dari 1798-1803), yaitu Pangeran Raja Kanoman berserta Mufti Kesultanan Kanoman Mbah Muqoyyim (Pendiri Pesantren Buntet) memutuskan keluar dari Keraton untuk bergabung bersama pejuang.
Dukungan beberapa kerabat Keraton Kesultanan Kanoman, dan Mufti Kesultanan membuat perjuangan Bagus Rangin memiliki kekuatan yang cukup dalam menghadapi Belanda, karena perjuangan tersebut mendapatkan dukungan dari Bangsawan dan rakyat, baik dari kalangan petani, nelayan dan kaum santri (Ulama Pondok Pesantren dan Santrinya).
Setelah Pangeran Raja Kanoman bertahun-tahun hidup diluar Istana bersama Mbah Muqoyyim dan pejuang lainnya, Belanda mendapatkan kabar dari mata-matanya, jika Pangeran Raja Kanoman dan Mbah Muqoyim sedang menghadiri suatu acara perkawinan yang digelar di Pesantren Pesawahan.
Tanpa mau kehilangan buronannya, Belanda menyergap Pangeran Raja Kanoman di pesawahan, dalam penyergapan tersebut, Pangeran Raja Kanoman tertangkap, namun dalam peristiwa itu Mbah Muqqoyim dapat meloloskan diri.
Selepas di tangkap, Pangeran Raja Kanoman dilucuti hak-haknya sebagai putra Mahkota Kesultanan Kanoman, iapun kemudian dibuang ke Ambon, Maluku.
Selanjutnya pada tahun 1803, ayah Pangeran Raja Kanoman mangkat, dan karena Pangeran Raja Kanoman sudah dilucuti hak-haknya, maka yang menjadi Sultan Kanoman adalah adiknya, yaitu Sultan Anom Abu Sholeh Imannuddin (1803-811).
Meskipun Pangeran Raja Kanoman telah dibuang, Mbah Muqoyyim dan pengiikutnya, termasuk pejuang lain pimpinan Bagus Rangin tetap melakukan perjuangan, bahkan serangan yang dilancarkan pada Belanda bertambah-tambah dahsyat dan mematikan.
Pada tahun 1802 hingga 1807, selain diguncang berbagai macam pemberontakan di wilayah Cirebon (Cirebon, Majalengka, Kuningan dan Indramayu), Belanda juga sedang menghadapi wabah kolera (Oleh rakyat Cirebon kala itu dikenal dengan wabah To’un), sehingga Belanda dan Pemerintah Lokal di Cirebon (Kasepuhan dan Kanoman) kelimpungan menghadapinya.
Guna menghadapi dua masalah besar itu, para Pejabat Keraton Kanoman melakukan pendekatan yang agak lunak, mereka menawarkan pengampunan terhadap para pengikut Pangeran Raja Kanoman termasuk Mbah Muqoyyim apabila menghentikan perjuangan (gencatan senjata), ide para pejabat Keraton tersebut disetujui Belanda.
Gencatan senjata diantara kedua belah pihak akhirnya disepakati pada tahun 1807, akan tetapi Mbah Muqoyyim yang juga disetujui oleh Bagus Rangin, mengajukan syarat, adapun syaratnya adalah agar Pangeran Raja Kanoman yang dibuang Belanda ke Ambon harus dikembalikan ke Cirebon dan hak-haknya sebagai seorang putra mahkta harus dikembalikan.
Meskipun berat, Kesultanan Kanoman dan Belanda kala itu terpaksa menyetujui syarat-syarat yang diajukan para pejuang, akhirnya pada Tahun 1808, Pangeran Raja Kanoman dipulangkan ke Cirebon, selain itu hak-haknya juga dipulihkan. Namun, karena kala itu di Kanoman kedudukan Sultan sudah diduduki oleh adik Pangeran Raja Kanoman, maka Kesultanan Kanoman dipecah menjadi dua, setengah kekuasaan untuk adiknya, dan setengahnya lagi untuk Pangeran Raja Kanoman.
Wilayah kekuasaan Pangeran Raja Kanoman itu kelak dikenal dengan nama Kesultanan Kacirebonan, selanjutnya masih pada tahun 1808, Pangeran Raja Kanoman dinobatkan menjadi Sultan Kacirebonan I dengan gelar “Sultan Carbon Buhhairudin Amirul Mukminan Carbon”.
Dinobatkannya Pangeran Raja Kanoman, menjadi Sultan Kacirebonan menandai terbentuknya Kesultanan Kacirebonan dengan wilayah kekuasaanya sendiri. Pada masa itu, Pangeran Raja Kanoman mendapatkan jaminan hidup dari Belanda dalam bentuk gajih bulanan, akan tetapi selama menjabat sebagai Sultan Kacirebonan, Sultan Kacirebonan I tidak pernah mau dan memakan uang itu. Beliau juga memilih tinggal di Taman Sari Sunyaragi warisan leluhurnya.
Pada tahun 1810, Sultan Carbon Buhhairudin Amirul Mukminan Carbon wafat sebagai seorang pejuang tangguh yang dalam diamnya terus mendukung perjuangan Bagus Rangin dan pengikutnya, meskipun dalam kondisi kesultan ekonomi.
Selepas mangkatnya Sultan Carbon Buhhairudin Amirul Mukminan Carbon, istrinya Ratu Raja Resminingpuri, merasa khawatir terhadap kelanjutan Kesultanan Kacirebonan, ia tidak menghendaki anak-anaknya hidup sengsara, serta ia juga tidak menghendaki jika Kesultanan yang menjadi hak keturunanya bubar. Oleh karena itu, Ratu Raja Resminingpuri memutuskan untuk mengambil gajih bulanan Sumainya dari Belanda yang tidak diambil selama tiga tahun (108-1810).
Uang gajih suaminya dari Belanda itu, dikemudian hari digunakan oleh Ratu Raja Resminingpuri untuk membangun Keraton, sebagai tempat tinggal dirinya dan anak-anaknya. Keraton itu sekarang dikenal dengan nama Keraton Kacirebonan.
Gerbang Keraton Kacirebonan |
Selain itu, setelah mangkatnya Sultan Carbon Buhhairudin Amirul Mukminan Carbon, tepatnya pada tahun 1811, Gencatan senjata yang pernah digagas pemerintah Kolonial Belanda (Zaman Deandeles/Prancis) dengan para Pejuang bubar, sebab pada tahun itu, Inggris menguasai Jawa termasuk Cirebon. Ketika Jawa (Hindia Belanda) diprintah oleh Rafles (1811-1816) perang besar antara para Pejuang pimpinan Bagus Rangin dkk meletus kembali di wilayah Cirebon.
Penulis : Bung Fei
Belum ada Komentar untuk "Sejarah Terbentuknya Kesultanan Kacirebonan"
Posting Komentar