Zaman Keemasan Kerajaan Mataram Islam

Kerajaan Mataram Islam pada masa pemerintahan Sultan Agung berada pada zaman keemasan. Pada masa itu, Mataram benar-benar mencapai puncak kejayaan.

Sultan Agung sendiri adalah figur pemimpin yang tegas sekaligus bijaksana sehingga pada saat menjadi Raja, ia mampu membawa Mataram menjadi kerajaan besar yang disegani. 

Cita-cita Sultan Agung adalah 
mempersatukan seluruh Jawa di bawah kekuasaan Mataram danmengusir kompeni (VOC) dari Batavia. 

Beberapa wilayah telah terwujud telah ia taklukkan, Mataram melakukan beberapa 
penyerangan di sekitar Jawa Timur. Seperti pada tahun 1614 M Mataram menyerang Surabaya bagian selatan; Ujung Timur Pulau Jawa, Malang, dan Pasuruan. Ia juga dapat menduduki Wirasaba pada tahun 1615 M. 

Penaklukan Wirasaba ini dirasa sangat penting, dikarenakan Wirasaba merupakan pintu masuk ke Surabaya. Kemudian pada 
tahun 1616 M, ia melalui pantai Utara dan dapat menaklukkan Lasem dan terus ke Timur sampai Pasuruan. Bahkan pada tahun 1620 M pasukan Mataram dengan melalui laut mengancam Surabaya dan 
setelah itu Madura ditaklukkan dan disatukan dalam satu pemerintahan 
dibawah keturunan kepangeranan Madura dengan ibukota Sampang. Setelah menaklukan Surabaya, Sultan Agung memusatkan penyerangan ke Batavia pada tahun 1628 M. 
Keadaan Batavia pada masa itu masih ada konflik dengan Banten. Meskipun keadaan damai antara Banten dan Batavia tidak terpulihkan, masing-masing tetap menolak mengadakan ikatan dengan Mataram, apapun bujukan maupun ancaman yang dilontarkan dari pihak Mataram. 

Walaupun hubungan Banten dan Batavia tegang sejak dulu Banten tetap tidak ingin Batavia jatuh ke tangan Mataram. Hanya pada Hari Natal 1627, Banten mengadakan usaha yang tidak matang untuk menguasai Batavia dengan tiba-tiba, tetapi gagal.

Jauh sebelum penyerangan Mataram di Batavia 1628, sebelumnya pada tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan 
dengan VOC. Kedua belah pihak saling mengirim duta besar. Ternyata, pihak VOC menolak membantu saat Kesultanan Mataram menyerang Surabaya. 

Penolakan VOC ini berakibat hubungan 
diplomatik dengan Kesultanan Mataram putus. Pertama kecurigaan dan isu-isu tertentu atas maksud Mataram memberi alasan kepada pangeran Jayawikarta untuk membangun tembok. 

Kedua, beberapa kali VOC mengutus delegasi ke Mataram supaya hubungan jangan memburuk. VOC yang sebelumnya bermarkas di Ambon, kepulauan 
Maluku, mengirimkan dutanya untuk mengajak Sultan Agung agar mengizinkan VOC untuk mendirikan loji-loji dagang di pantai Utara Mataram. Namun hal ini ditolak Sultan Agung karena bila diizinkan 
maka ekonomi di pantai Utara akan dikuasai oleh VOC. Penolakan ini membuat hubungan Mataram dan VOC sejak saat itu renggang.

Pada tahun 1619 VOC berhasil merebut Jayakarta (di bagian Barat pulau Jawa yang belum ditaklukkan Mataram) dari Kesultanan Banten, dan mengganti namanya menjadi “Batavia” (sekarang 
Jakarta). Markas mereka pun dipindah ke kota Batavia. Menyadari kekuatan bangsa dan maskapai dagang Belanda tersebut, Sultan Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam persaingannya 
menghadapi Surabaya dan Kesultanan Banten.

Sasaran Mataram berikutnya setelah Surabaya jatuh adalah Banten yang ada di ujung Barat pulau Jawa. Akan tetapi posisi Batavia yang menjadi penghalang perlu diatasi terlebih dahulu oleh Mataram.

Bulan April 1628 Kyai Rangga bupati Tegal dikirim sebagai duta ke Batavia untuk menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat tertentu dari Mataram. Tawaran tersebut ditolak pihak VOC sehingga Sultan Agung memutuskan untuk menyatakan perang.

Pada tanggal 27 Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Bahureksa, Bupati kendal tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran Mandurareja. Jika ditotal semuanya berjumlah 10.000 prajurit. Perang besar terjadi di benteng 
Holandia. Pasukan mengalami kehancuran karena kurangnya perbekalan. 

Menanggapi kekalahan ini sultan Agung bertindak tegas, pada bulan Desember 1628 dia mengirim algojo untuk menghukum mati Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurarejo.

Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya. Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni dengan jumlah 14.000 prajurit. 

Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras di Kerawang dan Cirebon. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya. 

Meskipun telah mengalami kegagalan yang kedua kalinya, serangan kedua ini Sultan Agung berhasil membendung dan mengotori sungai Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. 

Gurbernur Jenderal VOC yaitu J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.

Dalam mewujudkan ambisinya untuk menguasai seluruh Pulau Jawa, setelah penaklukkan Surabaya dan beberapa daerah Timur, upayah selanjutnya yaitu untuk menaklukkan Giri. 

Dalam perlawanan terhadap Giri, Sultan Agung melakukan kolusi Pangeran Pekik, seorang putera adipati di Surabaya, yang konon masih merupakan keturunan Sunan Ampel. 

Pada tahun 1636 Pangeran Pekik atas nama Sultan Mataram menggempur Giri dengan bantuan banyak dari lasykar Surabaya dan Mataram. 

Akhirnya Giri dapat ditaklukkan oleh Mataram dan Surabaya pada tahun 1636 M. Setelah penaklukkan Giri ini, Mataram tinggal berhadapan dengan Belanda, Portugis, Blambangan atau Panarukan yang dibantu Gelgel dari Bali.

Belum ada Komentar untuk "Zaman Keemasan Kerajaan Mataram Islam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel