Arab dan Kemahiran Menata Kata
Kamis, 31 Oktober 2019
Tulis Komentar
Arab mengacu pada nama bangsa dan wilayah di Timur Tengah, di sebelah utara berbatasan dengan Palestina dan dataran Syam, di sebelah timur berbatasan dengan dataran Irak dan teluk Persia, sebelah selatan berbatasan dengan lautan Hindia, dan sebelah barat berbatasan dengan Laut Merah.
Wilayah Arab yang biasanya disebut Zaizrah memiliki suhu udara yang amat panas menyebabkan tanah yang luas itu sukar untuk ditumbuhi oleh tanaman, kecuali daerah-daerah seperti Yaman, Thaif, dan Madinah. Oleh karena itu, tidak heran apabila tanah Arab boleh dikatakan tidak pernah di datangi oleh penjajah asing, karena mereka segan untuk tinggal di daerah yang amat mengerikan itu.
Keadaan Jazirah Arab yang demikian itu, menjadikan bangsa Arab mempunyai watak dan tabiat yang keras dan tidak pernah takut kepada siapa pun, kecuali kepada kepala suku mereka sendiri. Dari sini, kita ketahui bahwa mereka tidak pernah bersatu dengan suku lain kecuali bila adanya tali persahabatan. Kesenangan mereka hanya terbatas untuk kepentingan suku mereka saja.
Seorang kepala suku akan bertindak seperti raja yang akan bertanggung jawab hanya kepada anak buahnya saja. Kondisi wilayah yang gersang serta kurngnya persatuan di antara masyarakatnya ditambah lagi tidak adanya peradaban maju dari wilayah lain yang sudi memasuki Arab menyebabkannya menjadi wilayah terbelakang selama berabad-abad.
Arab setelah lahirnya Islam menjelma menjadi bangsa yang melahirkan peradaban yang cukup maju, kebudayannya bahkan mampu mempengaruhi kebudayaan lain di dunia.Nusantara salah satunya. Tapi sebelum datangnya Islam, Arab tidak lebih dari bangsa ketinggalan yang kebanyakan masyarakatnya lebih pandai menata kata ketimbang berbuat nyata, sumber Islam menyebutkan bahwa Arab sebelum datangnya Islam dikategorikan sebagai zaman “Jahiliyah” atau zaman “kedunguan/kebodohan”.
Sebagaian ahli berpendapat bahwa yang dimaksud zaman “Jahiliyah” adalah 150 tahun sebelum datangnya Islam (Dhaif, 2001 hlm 39), pada masa itu Arab benar-benar dalam puncak kedunguannya, meskipun disekelilingnya tumbuh peradaban maju seperti Perisa (Iran), Mesir dan Romawi yang menguasai Ilmu pengetahuan, Politik, Ekonomi dan lainnya.
Pada Zaman Jahiliyah, para cerdik dan cendikiawan di Arab lebih gemar merangkai kata-kata indah, mereka menyusun syair, puisi, pantun dan jenis-jenis karya sastra lainnya ketimbang menyusun buku ilmu perdagangan, kesehatan, filsafat, agama maupun ilmu pengetahuan lainnya yang jelas manfaatnya lebih besar untuk perdadaban mereka. Sementara di sisi lain orang-orang kaya di Arab lebih suka menghambur-hamburkan uang untuk para penata kata yang sanggup membuat kata-kata indah untuk memujanya. Sedangkan di sisi lain orang-orang bodoh dari kaum bawah dan budak hidupnya tertindas, malangnya para Cendikiawan yang pandai menata kata tersebut tidak sedikitpun peka terhadap penderitaan orang-orang lemah, mereka enggan merangkai kata-kata indah sekedar untuk menggugah kepedulian penguasa kepada kaum jelata, karena baginya menggunakan kemahiran menata kata untuk kaum lemah tidak menguntungkan bagi mereka.
Genre tata kata (sastra) pada zaman Jahiliyah yang paling populer adalah jenis syi’r (puisi) di samping amtsal (semacam pepatah atau kata-kata mutiara), dan pidato pendek yang disampaikan oleh para pujangga yang disebut sebagai prosa liris. Dan semua itu dihapal di luar kepala secara turun-temurun oleh orang-orang Arab yang memang terkenal dengan kemampuan daya hapal yang sangat tinggi (Haeruddin, 2016 hlm 37)
Para penata kata yang dalam bahasa Arabnya disebut ruwât (pencerita), pada masa Jahiliyah umumnya di isi oleh para pembuat puisi yang umumnya berbentuk silsilah para tokoh dari setiap kabilah Arab. Mereka umumnya mengagung-agungkan tokoh mereka dengan puisi dan kata-kata indah yang mereka buat.
Pada perkembangan selanjutnya, para penata kata pada masa Jahiliyah juga menggunakan kemahiran mereka untuk menutupi ketidak becusan para pemimpin mereka dalam memakmurkan rakyatnya, kadang juga mereka menggunkakan puisi-puisi yang mereka buat untuk menghantam dan menjelek-jelekan sesorang yang dianggapnya sebagai musuh mereka.
Pada masa Islam baru saja datang, yaitu seiring diangkatnya Muhamad SAW menjadi Nabi, banyak kalangan pembenci nabi menggunakan jasa para perangkai kata untuk menjelek-jelekannya. Puisi dan Syair tersebut didendangkan sebagai ejekan, bagi pendengaranya ejekan tersebut indah didengar dan memang begitu faktanya karena dirangkai dengan kata-kata yang meyakinkan.
Para penata kata Arab masa Islam tergoncang posisinya, manakala Muhamad dan pengikutnya mendengdangkan ayat-ayat al-Quran yang juga tercipta dari rangkaian kata-kata indah. Tapi bedanya Al-Quran berbicara tentang ilmu pengetahuan, tentang budi pekerti, tentang ketuhanan, tentang hal-hal yang memajukan, bukan hanya sekedar rangkaian kata manis yang menenggelamkan tanpa makna. Selepas datangnya Islam para penata kata Arab yang dahulunya hanya pandai membual kemudian menjelma menjadi pekerja keras, bangsa Arab yang semula sebagai bangsa dungu yang tak berarti dikemudian hari peradabannya mengalahkan Persia, Mesir dan Romawi, sebab Arab pada masa itu jutru yang mempengaruhi ketiganya.
Wilayah Arab yang biasanya disebut Zaizrah memiliki suhu udara yang amat panas menyebabkan tanah yang luas itu sukar untuk ditumbuhi oleh tanaman, kecuali daerah-daerah seperti Yaman, Thaif, dan Madinah. Oleh karena itu, tidak heran apabila tanah Arab boleh dikatakan tidak pernah di datangi oleh penjajah asing, karena mereka segan untuk tinggal di daerah yang amat mengerikan itu.
Keadaan Jazirah Arab yang demikian itu, menjadikan bangsa Arab mempunyai watak dan tabiat yang keras dan tidak pernah takut kepada siapa pun, kecuali kepada kepala suku mereka sendiri. Dari sini, kita ketahui bahwa mereka tidak pernah bersatu dengan suku lain kecuali bila adanya tali persahabatan. Kesenangan mereka hanya terbatas untuk kepentingan suku mereka saja.
Seorang kepala suku akan bertindak seperti raja yang akan bertanggung jawab hanya kepada anak buahnya saja. Kondisi wilayah yang gersang serta kurngnya persatuan di antara masyarakatnya ditambah lagi tidak adanya peradaban maju dari wilayah lain yang sudi memasuki Arab menyebabkannya menjadi wilayah terbelakang selama berabad-abad.
Arab setelah lahirnya Islam menjelma menjadi bangsa yang melahirkan peradaban yang cukup maju, kebudayannya bahkan mampu mempengaruhi kebudayaan lain di dunia.Nusantara salah satunya. Tapi sebelum datangnya Islam, Arab tidak lebih dari bangsa ketinggalan yang kebanyakan masyarakatnya lebih pandai menata kata ketimbang berbuat nyata, sumber Islam menyebutkan bahwa Arab sebelum datangnya Islam dikategorikan sebagai zaman “Jahiliyah” atau zaman “kedunguan/kebodohan”.
Sebagaian ahli berpendapat bahwa yang dimaksud zaman “Jahiliyah” adalah 150 tahun sebelum datangnya Islam (Dhaif, 2001 hlm 39), pada masa itu Arab benar-benar dalam puncak kedunguannya, meskipun disekelilingnya tumbuh peradaban maju seperti Perisa (Iran), Mesir dan Romawi yang menguasai Ilmu pengetahuan, Politik, Ekonomi dan lainnya.
Pada Zaman Jahiliyah, para cerdik dan cendikiawan di Arab lebih gemar merangkai kata-kata indah, mereka menyusun syair, puisi, pantun dan jenis-jenis karya sastra lainnya ketimbang menyusun buku ilmu perdagangan, kesehatan, filsafat, agama maupun ilmu pengetahuan lainnya yang jelas manfaatnya lebih besar untuk perdadaban mereka. Sementara di sisi lain orang-orang kaya di Arab lebih suka menghambur-hamburkan uang untuk para penata kata yang sanggup membuat kata-kata indah untuk memujanya. Sedangkan di sisi lain orang-orang bodoh dari kaum bawah dan budak hidupnya tertindas, malangnya para Cendikiawan yang pandai menata kata tersebut tidak sedikitpun peka terhadap penderitaan orang-orang lemah, mereka enggan merangkai kata-kata indah sekedar untuk menggugah kepedulian penguasa kepada kaum jelata, karena baginya menggunakan kemahiran menata kata untuk kaum lemah tidak menguntungkan bagi mereka.
Genre tata kata (sastra) pada zaman Jahiliyah yang paling populer adalah jenis syi’r (puisi) di samping amtsal (semacam pepatah atau kata-kata mutiara), dan pidato pendek yang disampaikan oleh para pujangga yang disebut sebagai prosa liris. Dan semua itu dihapal di luar kepala secara turun-temurun oleh orang-orang Arab yang memang terkenal dengan kemampuan daya hapal yang sangat tinggi (Haeruddin, 2016 hlm 37)
Para penata kata yang dalam bahasa Arabnya disebut ruwât (pencerita), pada masa Jahiliyah umumnya di isi oleh para pembuat puisi yang umumnya berbentuk silsilah para tokoh dari setiap kabilah Arab. Mereka umumnya mengagung-agungkan tokoh mereka dengan puisi dan kata-kata indah yang mereka buat.
Pada perkembangan selanjutnya, para penata kata pada masa Jahiliyah juga menggunakan kemahiran mereka untuk menutupi ketidak becusan para pemimpin mereka dalam memakmurkan rakyatnya, kadang juga mereka menggunkakan puisi-puisi yang mereka buat untuk menghantam dan menjelek-jelekan sesorang yang dianggapnya sebagai musuh mereka.
Pada masa Islam baru saja datang, yaitu seiring diangkatnya Muhamad SAW menjadi Nabi, banyak kalangan pembenci nabi menggunakan jasa para perangkai kata untuk menjelek-jelekannya. Puisi dan Syair tersebut didendangkan sebagai ejekan, bagi pendengaranya ejekan tersebut indah didengar dan memang begitu faktanya karena dirangkai dengan kata-kata yang meyakinkan.
Para penata kata Arab masa Islam tergoncang posisinya, manakala Muhamad dan pengikutnya mendengdangkan ayat-ayat al-Quran yang juga tercipta dari rangkaian kata-kata indah. Tapi bedanya Al-Quran berbicara tentang ilmu pengetahuan, tentang budi pekerti, tentang ketuhanan, tentang hal-hal yang memajukan, bukan hanya sekedar rangkaian kata manis yang menenggelamkan tanpa makna. Selepas datangnya Islam para penata kata Arab yang dahulunya hanya pandai membual kemudian menjelma menjadi pekerja keras, bangsa Arab yang semula sebagai bangsa dungu yang tak berarti dikemudian hari peradabannya mengalahkan Persia, Mesir dan Romawi, sebab Arab pada masa itu jutru yang mempengaruhi ketiganya.
Belum ada Komentar untuk "Arab dan Kemahiran Menata Kata"
Posting Komentar