Sejarah Bali Selepas Invasi Majapahit

BUNGFEI.COM-Sebagaimana disebutkan dalam artikel terdahulu bahwa ketika Bali diperintah oleh Dalem Batu Ireng dengan Patih Kebo Iwa, Bali secara sah menjadi bagian dari kekuasaan Majapahit, masuknya Bali menjadi bagian Majapahit dilakukan dengan cara invasi militer yang didahului pembunuhan tergadap Patih Kebo Iwa. Peristiwa ini menurut Babad Purana Maospait terjadi pada tahun 1265 Ś/1343 M.

Baca Juga: Jebakan Wanita Cantik Dalam Kewafatan Kebo Iwa

Selepas ditaklukan, Majapahit menempatkan seorang Arya asal Jawa yang bernama Sri Kresna Kepakisan untuk menjadi Raja dan memerintah di Bali. Sri Kresna Kepakisan pada mulanya merupakan utusan dari Gajah Mada untuk menjabat sebagai Patih dan memerintah Bali di bawah kekuasaan Majapahit. Ia adalah putra bungsu dari Danghyang Kepakisan yang pada saat itu menjadi guru dari Gajah Mada.

Kedatangan Sri Kresna Kepakisan disertai oleh sebelas Arya lainnya, seperti Arya Kanuruhan, Arya Wangbang, Arya Demung, Arya Kepakisan, Arya Tumenggung, Arya Kenceng, Arya Dalancang, Arya Belog, Arya Munguri, Arya Pengalasan dan Arya Kutawaringin (Ktut Agung 1991:12)

Pemerintahan Sri  Kresna Kepakisan berpusat di Samprangan, yang ketika itu dipilih dengan alasan tempat tersebut merupakan markas tentara Majapahit ketika berperang menaklukkan Sri Astaasura yang dulu berkedudukan di Bedahulu/Bedulu.

Menurut Babad Dalem, pemerintahan Dalem Kresna Kepakisan berlangsung mulai tahun 1274 Ś/1352 M hingga ia mangkat pada tahun 1302 Ś/1380 M. Dalem Kresna Kepakisan memiliki tiga orang putra, putra pertama bernama I Dewa Samprangan yang gemar bersolek sehingga dijuluki Dalem Ile, putra kedua bernama I Dewa Tarukan yang dikenal tidak berambisi karena sedikit tidak waras dan putra bungsunya bernama I Dewa Ktut Tegal Besung yang terkenal tidak pernah tekun diam di puri, selalu mengembara bermain judi, ia dijuluki Dalem Ketut Angulesir (Ktut Agung 1991:14).

Menurut Babad Arya Kutawaringin sepeninggal Sri Kresna Kepakisan pemerintahan di Samprangan dilanjutkan oleh anak tertuanya, Dalem Ile (dalem Agra Samprangan). Karena kegemarannya bersolek sepanjang hari, raja ini tidak cakap memerintah dan seringkali para menteri dan arya yang akan menghadap merasa kecewa, mereka kerapkali harus menunggu di Paseban dan raja tidak muncul. (Rai Putra 1991:15; Munandar 1999:192).

Keadaan itu, membuat para menteri yang diketuai oleh Bendesa Gelgel yang bernama Klapodyana meminta adik raja yang bernama Dalem Ketut Angulesir untuk mendirikan pemerintahan baru di Bali dengan berkedudukan di Gelgel. Pemerintahan di Gelgel mulai berdiri pada tahun 1305 Ś/1383 M dengan keratonnya dinamakan Swesapura/Lingarsapura. Gelar resmi Raja Gelgel pertama yaitu Ketut Angulesir adalah Dalem Ketut Samara Kepakisan (Rai Putra 1991:19- 20; Munandar 1999:192).

Sementara itu, Dalem Ile di Samprangan masih bertahta tetapi ia tidak mempunyai kekuasaan lagi. Samprangan kemudian dilupakan sejarah dengan mangkatnya Dalem Ile, karena tidak ada berita sejarah selanjutnya tentang kerajaan tersebut (Munandar 1999:192).

Masa pemerintahan Dalem Ketut Semara Kepakisan di Bali merupakan periode yang aman sejahtera, bahkan raja ini disebut-sebut sempat menghadap Hayam Wuruk di Istana Majapahit. Menurut Nāgarakŗtāgama pupuh 81:4-6 diuraikan keagungan Majapahit dan kemuliaan Raja Hayam Wuruk. Pada bulan Phalguna setiap tahun, raja Majapahit dihormat oleh seluruh pembesar negeri dari empat penjuru, bahkan pembesar dari Bali pun datang membawa upeti (Nag. 81:5; Munandar 1999:193).

Dalem Ketut Semara Kepakisan datang ke istana Majapahit dengan menggunakan perahu. Babad Dalem selanjutnya menyatakan bahwa perjalanan pergi-pulang dari Bali ke Jawa Timur menghabiskan waktu satu bulan lamanya. Di istana Majapahit penampilan Raja Bali segera merebut perhatian hadirin  karena ketampanannya bagaikan Dewa Smara (Kama) (Rai Putra 1995:26- 27;Munandar 1999:193).

Perjalanan Dalem Ketut Semara Kepakisan diiringi oleh patihnya yang bernama Ki Gusti Arya Petandakan dan disertai juga oleh para Demung, Tumenggung, dilengkapi dengan peralatan kebesarannya.  Kunjungannya ke Majapahit untuk menyatakan kesetiaannya membuat ia dihadiahi sebilah keris yang dinamai Kris Ki Bengawan Canggu (Ktut Agung 1991:15).

Babad Dalem mencatat bahwa Ketut Semara Kepakisan meninggal pada tahun 1382 Ś/1460 M. Kedudukannya digantikan oleh putra mahkota yang telah ditahbiskan sejak tahun 1380 Ś/1458 M. Raja itu bernama Dalem Batur Enggong atau Sri Waturenggong. Diberitakan pula bahwa pada masa pemerintahannya Bali di puncak keemasannya (Rai Putra 1985:32;Munandar 1999:193).

Sementara itu para pembesar negara pada waktu itu banyak yang telah uzur dan digantikan oleh putranya. Tidak terkecuali Patih Ki Gusti Arya Petandakan digantikan oleh putranya bernama Ki Gusti Arya Batanjeruk yang menjadi patih pada masa pemerintahan Waturenggong (Ktut Agung 1991:15).

Masa pemerintahan Waturenggong di Gelgel dengan Patih Ki Gusti Arya Batanjeruk dikenal dengan zaman keemasan di Bali. Raja dikenal sebagai pribadi yang sakti dan berwibawa, adil dan tegas menjalankan hukum dan bijaksana dalam memutar roda pemerintahan. Ia melindungi rakyatnya secara lahir dan batin sehingga masyarakat menjadi aman, tentram dan rakyat pun hidup makmur (Ktut Agung 1991:15). Mungkin dalam masa pemerintahannya, ia menyaksikan runtuhnya Kerajaan Majapahit di Jawa Timur pada awal abad ke-16 M (Berg 1974:148; Munandar 1999:193).

Bali pada waktu itu mengembangkan pengaruhnya hingga ke luar wilayahnya. Blambangan, Pasuruan, Nusa Penida dan Sumbawa ditaklukkan pada tahun 1434 Ś/1512 M. Sedangkan Sasak (Lombok) direbut oleh tentara Dalem Waturenggong pada tahun 1441 Ś/1520 M.

Berita yang menjadi perhatian pada masa pemerintahan Waturenggong adalah datangnya seorang pendeta bernama Danghyang Nirartha dari Jawa Timur dan mendarat di Kapurancak (di wilayah bagian barat Bali) pada tahun 1441 Ś/1489 M. Hal ini menarik perhatian karena Danghyang Nirartha membawa pembaruan terhadap kehidupan keagamaan Hindu di Bali (Rai Putra 1995:43; Munandar 1999:194).

Pengetahuan Danghyang Nirartha dalam bidang keagamaan yang sangat luas membuat ia diangkat oleh Waturenggong menjadi Baghawanta (pendeta istana) dan guru pribadi sekaligus penasehat spiritual sang raja. Selain itu dalam kenyataannya Danghyang Nirartha juga dikenal sebagai “guru loka” yaitu penasehat rohani dari masyarakat umum.

Hal ini terlihat dari kegiatannya dalam mengadakan Dharma Yatra, yaitu perjalanan keliling dari satu tempat ke tempat lain (Ktut Agung 1991:17). Sebagai guru pribadi raja Danghyang Nirartha diminta oleh Waturenggong untuk “membersihkan” dirinya (diniksan), dan pada tahun 1472 Ś/1558 M sang raja moksa (Rai Putra 1995:43; Munandar 1999:194).

Semasa hidupnya Dalem Waturenggong meninggalkan dua orang putra yang bernama I Dewa Pemayun/Dalem Bekung dan Ida I Dewa Anom Seganing. Karena umur I Dewa Pemayun masih belia, maka kekuasaan yang diwariskan  oleh Waturenggong untuk sementara dijalankan oleh Patih Agung I Gusti Arya Batanjeruk dan raja muda ini pun didampingi oleh paman-pamannya, antara lain I Dewa Gedong Arta, I Dewa Nusa, I Dewa Pagedongan, I Dewa Anggungan dan I Dewa Bangli.

Pada waktu itu, untuk beberapa tahun lamanya di sekitar istana Gelgel timbul intrik-intrik yang membuat suasana kerajaan semakin panas. Hal ini dapat tumbuh dan berkembang karena beberapa hal, antara lain para penerus raja yang masih belia dan kekuasaan dipegang Patih Batanjeruk. Sementara itu, di antara pendamping putra raja mulai timbul keinginan untuk merebut kekuasaan dan dipihak lain tetap ingin mempertahankan kekuasaannya (Ktut Agung 1991:21).
Intrik-intrik di kalangan penguasa membuat pemerintahan Dalem Bekung menjadi lemah sehingga mengakibatkan terjadinya pemberontakan besar yang dipimpin Patih Batanjeruk dan bersekutu dengan seorang paman raja yaitu I Dewa Anggungan pada tahun 1556 M.
Walaupun pemberontakan tersebut dapat dipadamkan namun suasana Gelgel tidak aman lagi. Setelah pemberontakan intrik-intrik yang terjadi di kalangan menteri semakin memanas sehingga menimbulkan pembunuhan besar pada tahun 1578 M, hal itu semakin membuat kewibawaan Dalem Bekung menjadi kian merosot. (Rai Putra 1995:63; Munandar 1999:194).

Para pejabat kerajaan pada suatu saat mengadakan sidang sehingga akhirnya diputuskan raja harus diganti. Penggantinya adik raja, yaitu I Dewa Anom Seganing (I Dewa Dimade) yang mulai memerintah antara tahun 1580- 1685 M. Ia berhasil memulihkan kewibawaan Gelgel. Daerah kekuasaan di luar Bali (Lombok dan Sumbawa) yang semula lepas dapat ditaklukkan kembali (Rai Putra 1995:63; Munandar 1999:195).

Sejak mulai naik tahta Dalem Seganing menghadapi berbagai tantangan. Bagian timur, Sulawesi (Goa) dan Sumba bangkit menjadi saingan, Pasuruan dan Blambangan di barat ketika itu merupakan wilayah kerajaan Gelgel terancam oleh Mataram di Jawa Tengah. Salah satu usahanya dalam mempertahankan kerajaan Gelgel di Bali, Dalem Seganing menjalankan politik perkawinan dengan mengambil istri dari berbagai daerah. Tercatat bahwa ia memiliki 16 anak dari istri-istrinya (Ktut Agung 1991:26).

Anak tertua Dalem Seganing yang bernama Ida I Dewa Anom Pemahyun menggantikan kedudukannya sebagai raja Gelgel mulai tahun 1665 M.

Pada tahun itu juga di awal pemerintahannya terjadi kemelut politik di Gelgel, di antara para pejabat ada yang tidak suka dengan kebijakannya. Mereka dipimpin oleh Kryan Agung Maruti yang mencalonkan adik Dewa Anom Pemahyun yang bernama I Dewa Dimade sebagai raja Gelgel. Akibat pergerakan tersebut Dewa Anom Pemahyun rela meninggalkan istana Gelgel.

Babad Dalem mencatat bahwa sang raja bersama beberapa pengiringnya pindah bermukim di desa Purasi tahun 1587 Ś/1665 M. Ia menghuni bekas istana Dalem Bekung dahulu. Dewa Anom Pemahyun cukup lama bermukim di Purasi dan ia sempat memperbaiki Pura Ukir Anyar tahun 1590 Ś/1666 M (Rai Putra 1995:16; Munandar 1999:195).

Setelah kepergian raja Dewa Anom Pemahyun, I Dewa Dimade menjadi penguasa Gelgel dengan sebutan Dalem Dimade (1665-1686 M). Ia memerintah dengan dibantu patihnya yaitu Kryan Agung Maruti Dimade. Pada masa pemerintahannya daerah-daerah di luar Bali berusaha untuk melepaskan diri dari pengaruh Bali, misalnya Blambangan dan Lombok. Sementara itu di Gelgel sendiri Patih Maruti beserta kelompoknya merencanakan makar terhadap raja (Munandar 1999:195-196).

Suasana intrik yang diciptakan oleh Patih Agung Maruti kian memanas di dalam istana. Ia pun menyusun kekuatan untuk memberontak kepada Dalem Dimade. Istana Gelgel di kepung, namun Dalem Dimade berhasil melarikan diri bersama pengikut-pengikutnya yang setia dan mengungsi ke Guliang (Gianyar). Dalem Dimade diikuti seorang putranya yang bernama I Dewa Jambe.

Setelah Agung Maruti berhasil menghancurkan perlawanan orang-orang yang setia terhadap raja Dimade, ia pun menduduki istana Gelgel tahun 1686 M (Ktut Agung 1991:27).

Setelah kematian Dalem Dimade dalam pengungsiannya, putranya yang bernama I Dewa Jambe merencanakan untuk menyerang Agung Maruti. Ia mengumpulkan para pengikut ayahnya yang masih setia dan saudara- saudaranya untuk menyerang Gelgel.

Pertempuran yang hebat terjadi di sekitar desa Dawan, Gelgel. Dalam penyerangan itu Agung Maruti berhasil dikalahkan oleh I Dewa Jambe kemudian Agung Maruti lari ke Jimbaran, lalu mengungsi ke Kuramas (Gianyar). Pelariannya ini dicatat Babad terjadi pada hari selasa, Paing, Wuku Bala, Iśaka 1626 (1702 M) (Ktut Agung 1991:28).

I Dewa Jambe melanjutkan tahta dari Dinasti Kresna Kepakisan. Akan tetapi ia tidak kembali ke istana Gelgel melainkan mendirikan puri di Klungkung bernama puri Smara Jaya. Sejak saat itu, diikrarkan bahwa sebutan Dalem bagi raja sewaktu di Gelgel tidak lagi dipergunakan dan diganti dengan sebutan Ida I Dewa Agung. Raja I Dewa Jambe berkuasa di Klungkung dengan gelar Ida I Dewa Agung Jambe pada tahun 1710 M (Ktut Agung 1991:28).

Setelah Kryan Agung Maruti dikalahkan, kekuasaan di pulau Bali terbagi ke dalam beberapa kerajaan kecil yang menyelenggarakan pemerintahannya sendiri-sendiri. Jumlah dan nama kerajaan-kerajaan itu berbeda-beda tiap periode, sebab ada kerajaan yang kemudian runtuh dan wilayahnya digabungkan ke kerajaan lain yang lebih kuat. Ada juga kerajaan yang berganti nama setelah memperoleh tambahan wilayah dari kerajaan yang ditaklukkannya (Munandar 1999:212).

Kerajaan-kerajaan Bali yang berdiri sejak awal abad ke-18 M bersamaan dengan jatuhnya Dinasti Kresna Kepakisan di Gelgel adalah Buleleng, Bangli, Singarsa/Sidemen dan Gelgel yang saat itu dikuasai oleh Patih Maruti. Paling tidak ada dua sumber yang menyatakan bahwa empat daerah itu tidak tunduk pada Gelgel, yaitu Babad Dalem (Rai Putra 1995:82-82) dan Babad Arya Kutawaringin (Rai Putra 1991:55-56) (Munandar 1999:212).

Menurut catatan sejarah, di antara abad ke-18 sampai abad ke-19 M di Bali ada sejumlah kerajaan kecil yang memiliki raja dan pemerintahan sendiri, yakni kerajaan Karangasem, Buleleng, Jembrana, Klungkung, Bangli, Gianyar, Badung, Tabanan dan Mengwi (Sutjipto 1975:40).
Peta Pulau Bali
Kerajaan Karangasem berdiri sekitar tahun 1661 M dengan rajanya yang bernama I Gusti Anglurah Ktut Karang, Buleleng berdiri tahun 1695 M dengan rajanya yang bernama I Gusti Panji Sakti. Kerajaan Mengwi mulai ada sekitar tahun 1700 M. Selanjutnya berdiri kerajaan- kerajaan lain seperti Tabanan, Bangli, Badung, Payangan, Gianyar dan Jembrana. Kerajaan Jembrana menurut sejarah merupakan vassal Mengwi (Ktut Agung 1991:30).

Berdesarkan pemaparan sejarah Bali sebagaimana yang telah diuraikan penulis, dapatlah dimengerti Bahwa selepas invasi Majapahit rupanya Bali diperintah oleh para Arya dari tanah Jawa, hal ini juga diperkuat oleh laporan R. Friederich yang berkunjung ke Bali pada paruh ke dua abad ke-19 M menyatakan ada beberapa kerajaan yang merdeka dan berdaulat. Namun mereka mengakui bahwa Dewa Agung raja Klungkung adalah penguasa seluruh Bali. Para raja di Bali berasal dari golongan ksatrya, mereka adalah keturunan para ksatrya yang dahulu datang dari Majapahit (Friederich 1887:119; Munandar 1999:213-214).

Belum ada Komentar untuk "Sejarah Bali Selepas Invasi Majapahit"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel